Home » Nrimo Ing Pandum

Akhir-akhir ini, di media sosial, seringkali orang Jogja disebut “nrimo ing pandum” dengan konotasi negatif. Istilah ini kadang-kadang diartikan bahwa orang Jogja terlihat malas atau pasrah dalam menghadapi segala situasi hidup. Namun, sebenarnya konsep “nrimo ing pandum” memiliki makna yang lebih mendalam dan berbeda.

Yang saya pahami, “nrimo” berarti menerima, sementara “pandum” berarti pemberian. Jadi, “nrimo ing pandum” seharusnya diartikan sebagai sikap menerima segala pemberian hidup dengan tulus, tanpa syarat, dan tanpa mengeluh. Ini adalah filosofi yang mengajarkan orang Jawa untuk bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Tuhan, menerima apa adanya dengan rendah hati, dan tidak menuntut lebih dari apa yang telah diberikan.

Filosofi “nrimo ing pandum” juga mencerminkan keyakinan bahwa manusia harus tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini bukanlah tentang sikap pasrah tanpa usaha, tetapi lebih kepada pengendalian diri dan ketenangan dalam menghadapi cobaan hidup. Konsep ini sejalan dengan “Makaryo ing nyoto” (bekerja dengan sungguh-sungguh), yang berarti bahwa setelah berusaha atau berupaya, kita kemudian berserah diri atau menerima dengan lapang hati. “Nrimo ing pandum” adalah peringatan bagi manusia untuk tidak terlalu tinggi dalam berharap. Jika harapan tidak terpenuhi seperti yang diinginkan, manusia tidak boleh larut dalam kesedihan.

Bagi masyarakat Jawa, ini bukan sekadar filosofi kosong, tetapi telah menjadi bagian dari nilai-nilai budaya mereka. Sopan santun dan kesopanan terhadap tamu adalah contoh bagaimana mereka mengutamakan kepentingan orang lain di atas diri sendiri. Semangat gotong royong dan kerja sama juga mengalir dalam darah masyarakat Jawa, yang menunjukkan betapa mereka selalu siap membantu sesama tanpa mengharapkan imbalan (memberi tanpa pamrih).

Dalam konsep “nrimo ing pandum,” mereka mengajarkan kita untuk melihat dunia dengan lapang hati dan rendah hati. Menerima apa yang telah diberikan, tanpa terlalu banyak mengeluh atau menuntut. Ini bukanlah tentang menjadi pasif atau berhenti berusaha, tetapi lebih kepada membuka hati untuk menerima segala rahasia kehidupan dengan ketenangan batin.

Jadi, “nrimo ing pandum, makaryo ing nyoto.” Mari menghayati filosofi ini dengan bekerja keras, berbuat baik kepada sesama, dan menghargai segala karunia Tuhan dalam hidup kita.

2 thoughts on “Nrimo Ing Pandum

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *