Lampah Budaya Mubeng Beteng

( English version here )

Kalender Jawa diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo yang mengacu ada penanggalan Hijriyah (Islam). Biasanya, malam satu suro diperingati pada malam hari setelah shalat Magrib, pada hari sebelum tanggal satu. Hal tersebut karena pergantian hari Jawa dimulai ketika matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.

Di Kraton Yogyakarta, di malam satu suro ada tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng. Tradisi mubeng beteng ini bukan Hajad Dalem (acara resmi Kraton) melainkan Hajad Kawula Dalem. Hajad Kawulo Dalem bukanlah acara resmi Kraton tapi Kraton merestui dengan memperbolehkan menggunakan bangsal Pancaniti dan pada saat berangkat mubeng beteng dari pihak Kraton (Putra/Mantu Dalem) memberangkatkan dengan penyematan kantil ke telinga peserta yang paling depan. Tahun ini, Tahun Baru 1 Sura Jimawal 1957/ 1 Muharam 1445 H, dilaksanakan prosesi Lampah Budaya Mubeng Beteng pada Rabu malam 19 Juli 2023.

Hajad Kawula Dalem ini diinisiasi oleh Paguyuban Abdi Dalem dan masyarakat sebagai bentuk refleksi atau pensucian diri menuju manusia yang lebih baik pada tahun yang akan datang. Prosesi diawali sekitar pukul 19.30 WIB dengan mocopatan, doa bersama, kemudian sugengan yaitu selametan dengan makan bersama di Kagungan Dalem Bangsal Pancaniti (Kompleks Kamandungan Lor/Keben) yang dilanjutkan dengan Mubeng Beteng yaitu berjalan bersama mengelilingi beteng Kraton dengan arah melawan jarum jam dengan membisu.

Saya bertemu dengan Raden Wedana Hasto Prakoso yang sudah menjadi abdi dalem Kraton Yogyakarta sejak 2012. Pak Hasto turut berinisiatif mengadakan kirab bendera/klebet abdi dalem saat acara mubeng beteng dan juga bertanggung jawab menyiapkan tombak dan bendera-bendera yang akan dibawa saat prosesi (kalau tidak salah ingat, sejak tahun 2008).

Klebet Abdi Dalem ini sudah ada sejak dulu, konon kabarnya warna-warna klebet abdi dalem ini terkait dengan sosio-kultur masyarakat. Misalnya Kabupaten Bantul itu yang dulu dipandang sebagai basis pertanian (hijau) dan ulama (putih) sehingga simbol klebetnya adalah pohon pandan yang merupakan perpaduan hijau dan putih. Untuk klebet Kabupaten Gunung Kidul, konon pada jaman kerajaan saat pasukan kerajaan berkuda turun dari Gunung Kidul dari kejauhan tampak seperti burung podang (kuning) yang akan menghisap madu (merah) sehingga klebetnya bersimbol podang ngisep sari. Untuk kabupaten Sleman klebetnya berwarna biru dan putih sebagai simbol dari Gunung Merapi dan awan di atasnya.

Klebet Abdi Dalem

Mengenal nama-nama Klebet (bendera) Paguyuban Abdi Dalem Karaton Ngayogyakarta yang dikirab saat Lampah Ratri Mubeng Beteng Malam 1 Suro.

  • Kota Yogyakarta: Klebet Bangun Tolak (Hitam/Nila)
  • Sleman: Klebet Mega Ngampak (Biru/Putih)
  • Gunung Kidul: Klebet Podang Ngisep Sari (Merah/Kuning)
  • Bantul: Klebet Pandan Binetot (Hijau/Putih)
  • Kulon Progo: Klebet Pareanom (Hijau/Kuning)
  • DIY: Klebet Budi Wadu Praja (Kuning)

Enam bendera tersebut mengiringi bendera Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat Gulo Klopo dan bendera Republik Indonesia yang berada di barisan paling depan.

Menurut Pak Hasto, kemungkinan besar acara mubeng beteng ini berasal dari salah satu tradisi jawa yaitu laku spiritual mengelilingi rumah di waktu tertentu saat memiliki hajad/ nadar/ keinginan. Jadi acara ini kemungkinan besar dari dulu adalah inisiatif dari masyarakat yang kemudian diorganisir oleh paguyuban abdi dalem sehingga menjadi lebih teratur.

Dimulai tepat jam 12 malam, ternyata jalan hampir 6 km lumayan lama yaitu 1,5 jam, rute bisa dilihat di gambar sebelah tapi saya agak telat nyalain trackernya, kelupaan hehehe. Suasana selama lampah mubeng beteng lumayan sakral, sepanjang jalan banyak orang menonton dan memotret tapi semua menghargai dengan ikut tenang/ membisu. Yang saya agak heran tuh kok ya ada beberapa orang yang membawa balita yang tentunya rewel sejak di Keben dan juga sepanjang jalan.

Yang saya salut para abdi dalem bahkan yang sudah sepuh (tua) pada cekeran alias tidak memakai alas kaki dan kuat tetap di depan. Beberapa tahun yang lalu saya pernah coba lepas alas kaki dan hasilnya melepuh berhari-hari hehehe

Sekian cerita saya tentang tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng Kraton Yogyakarta ini, yang pertama kali diadakan lagi setelah sempat vakum tiga tahun karena pandemi dengan antusias masyarakat yang tinggi mengikuti dari awal acara sampai selesai.


Lampah Budaya Mubeng Beteng: A Cultural Journey in Yogyakarta

The Javanese calendar, established by Sultan Agung Hanyokrokusumo of Mataram, aligns with the Islamic Hijri calendar. Typically, the evening of Satu Suro (the first day of the Javanese year) is commemorated the night after the Maghrib prayer, preceding the first day of Suro. This timing is significant because the Javanese day begins at sunset, not at midnight.

At the Yogyakarta Palace, the night of Satu Suro features the tradition of Lampah Budaya Mubeng Beteng. Unlike the official royal ceremonies (Hajad Dalem), this event is known as Hajad Kawula Dalem, initiated by the Abdi Dalem community and the people. The palace grants permission for this celebration by allowing the use of the Pancaniti hall, where participants are ceremoniously sent off with the adornment of kantil flowers on their ears by members of the royal family. This year, the New Year of 1 Suro, Jimawal 1957/1 Muharam 1445 H, the Lampah Budaya Mubeng Beteng ceremony took place on the night of Wednesday, July 19, 2023.

The Hajad Kawula Dalem event is initiated by the Abdi Dalem association and the community as a form of self-reflection and purification, aiming for personal improvement in the upcoming year. The ceremony begins around 7:30 PM with mocopatan (a traditional prayer ritual), followed by sugengan, a communal meal at the Kagungan Dalem Bangsal Pancaniti (located in the Kamandungan Lor/Keben complex), and concludes with the Mubeng Beteng procession, where participants walk together counterclockwise around the palace walls in silence.

During the event, I had the pleasure of meeting Raden Wedana Hasto Prakoso, a dedicated member of the palace’s Abdi Dalem since 2012. Pak Hasto played a pivotal role in organizing the flag procession (klebet) during Mubeng Beteng and was responsible for preparing the spears and banners carried during the ceremony (if I recall correctly, since 2008).

The Klebet Abdi Dalem tradition has deep roots, with colors representing the socio-cultural identity of the regions. For example, Bantul, known for its agricultural heritage, has a klebet symbolized by a pandan tree, a blend of green and white. In Gunung Kidul, the klebet reflects the historical imagery of royal cavalry appearing like yellow birds (podang) seeking nectar (red), hence the name Podang Ngisep Sari. Sleman’s klebet showcases blue and white, symbolizing Mount Merapi and the clouds above.

The Klebet Flags of the Abdi Dalem

Here are the klebet flags representing various regions, displayed during the Lampah Ratri Mubeng Beteng on the night of Satu Suro:

  • Yogyakarta City: Klebet Bangun Tolak (Black/Navy)
  • Sleman: Klebet Mega Ngampak (Blue/White)
  • Gunung Kidul: Klebet Podang Ngisep Sari (Red/Yellow)
  • Bantul: Klebet Pandan Binetot (Green/White)
  • Kulon Progo: Klebet Pareanom (Green/Yellow)
  • DIY: Klebet Budi Wadu Praja (Yellow)

These six banners accompany the flag of the Ngayogyakarta Hadiningrat and the flag of the Republic of Indonesia, which leads the procession.

According to Pak Hasto, Mubeng Beteng likely has roots in an ancient Javanese spiritual practice where individuals walk around their homes at specific times to fulfill desires or vows. Thus, this event may have originated as a community initiative, later organized by the Abdi Dalem association for better coordination.

The procession began precisely at midnight, covering nearly 6 kilometers and lasting about 1.5 hours. The route can be seen in the accompanying image, although I started tracking a bit late—oops! The atmosphere during the Lampah Mubeng Beteng was quite sacred; many people watched and photographed the procession, yet all remained respectful and silent. It was somewhat surprising to see several parents carrying toddlers who were understandably restless from the Keben to the end of the route.

I was particularly impressed by the dedication of the Abdi Dalem, especially the elder ones, who walked barefoot and remained strong at the front. A few years ago, I tried walking barefoot as well and ended up with blisters for days!

That’s my story about the Lampah Budaya Mubeng Beteng tradition at the Yogyakarta Palace, which returned this year after a hiatus of three years. If you have the opportunity to experience this unique cultural journey, I highly recommend it!

Participating in cultural events like Lampah Budaya Mubeng Beteng allows us to connect with our heritage and embrace the spiritual essence of our traditions. If you have any experiences or insights about this event or similar cultural practices, feel free to share in the comments below!

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *