Home » Pindah dari Indonesia: Apakah Rumput Tetangga Lebih Hijau?

Beberapa hari ini ramai dibahas di Twitter (X) tentang keinginan pindah dari Indonesia. Banyak yang berapi-api mengajak pindah seolah-olah Indonesia sudah hancur banget. Membaca-baca di situ, rasanya beberapa yang menulis itu beropini hanya dari berita atau pengalaman pas liburan. Kelihatan kok bedanya dengan opini dari yang sudah pindah tinggal di luar negeri (diaspora).

Menurut saya, di setiap negara ada enaknya, ada juga nggak enaknya. Ini saya nulis bukan mau pamer atau gimana, tapi ya saya sudah merasakan hidup lumayan lama di Eropa (lama di Jerman, sempat di Hungary juga). Pengen share aja siapa tahu bisa buat masukan bagi yang ingin keluar dari Indonesia.

Kelebihan di Jerman (menurut saya pribadi loh)

  • Kebersihan dan Infrastruktur: Secara umum, Jerman sangat bersih, dengan infrastruktur yang bagus dan peraturan yang jelas. Banyak taman dan ruang publik yang bisa dipakai umum tanpa tiket masuk. Kalau punya anak kecil, banyak tempat bermain di ruang publik yang bisa kita pakai. Fasilitas umum rata-rata bagus. Transportasi publik juga bagus, walaupun belakangan ini pegawai kereta sering demo jadi lumayan kacau katanya.
  • Musim Semi dan Musim Panas: Musim semi dan musim panas di Eropa asik banget. Saya dulu suka piknik di public park, seharian rebahan di sana baca buku atau ngumpul sama teman-teman BBQ-an di pinggir sungai. Kalau panas banget, piknik di kolam renang terbuka yang biasanya ada tamannya untuk duduk-duduk atau rebahan. Mau pergi ke negara tetangga juga dekat dan terjangkau. Hal-hal seperti ini yang saya kangen dari Jerman, selain makanannya juga.
  • Dog Lover bisa membawa anabul ke banyak tempat umum. Saya dulu bahkan bawa marmut (guinea pig) jalan-jalan, karena dulu pas di Jerman masih takut sama anjing, this is but another story 🙂 Di bawah saya share foto-foto Toby si marmut.

Kekurangan di Jerman (again, menurut saya pribadi)

  • Birokrasi yang Kaku: Orangnya kaku, peraturannya juga kaku. Jadi mau nggak mau harus taat benar di sana, nggak bisa minta pengertian petugas atau minta bantuan orang dalam seperti di Indonesia. Banyak hal perlu izin, bahkan naik sepeda juga ada semacam SIM-nya. Di SD ada pelajaran baca rambu-rambu lalu lintas dan ujian praktek naik sepeda, polisi lalu lintas datang ke sekolah untuk itu. Mau memancing juga perlu pakai surat izin.
  • Cuaca: Jerman punya empat musim. Buat saya, paling cocok ya musim semi dan musim panas. Musim gugur masih agak suka, tapi musim dingin bikin malas keluar rumah karena salju hanya indah pas awal turun, setelahnya becek dan kotor. Kalau suhu minus ya dingin banget, belum lagi langit gelap lebih awal, berangkat kerja gelap, pulang kerja gelap, seharian nggak lihat matahari. Buat saya yang suka kumpul-kumpul, winter ini musim yang sepi banget, makanya perlu diwaspadai jangan sampai depresi.

Pengalaman di Hungary

Di Budapest, vibes-nya kayak di Jakarta (menurut saya). Di Budapest, saya merasakan orang Hungary kurang mau berbaur dengan orang asing. Entah karena kendala bahasa (bahasa Hungary susah betul euy) atau memang mereka jaga jarak ke orang asing, saya kurang tahu juga. Jadi sebagai ekspat di sana, akhirnya waktu itu ya bergaul dengan sesama ekspat saja seringnya dan waktu itu saya satu-satunya di grup yang bukan bule, jadi ya begitulah.

Realitas Rasisme

Rasisme itu nyata ada. Selancar-lancarnya bisa bahasa Jerman, tetap dipandang sebagai orang asing di Jerman. Walaupun lahir dan besar di Jerman, tapi kalau tampangmu bukan bule ya tetap beda perlakuan yang diterima. Tentang ini saya gak mengeluh sih, saking udah terbiasa jadi udah cuek, diterima aja sebagai suatu kenyataan hidup. Diskriminasi juga nyata ada di dunia kerja, diutamakan orang Jerman dulu, baru orang dari EU, kemudian barulah yang lain-lain. Tentunya ada pengecualian buat orang-orang jenius atau istimewa atau tenaga ahli, kalau saya kan orang biasa, standard banget lah.

Terakhir saya ke Jerman sebelum pandemi, di Frankfurt terasa banget perubahannya buat saya pribadi. Semakin banyak orang asing, bahasa Inggris dipakai di banyak tempat. Kuliah pun sekarang banyak kampus menawarkan program berbahasa Inggris. Dulu hal ini tidak terbayangkan, tahun 90-an jarang banget ada orang Jerman bisa (mau) berbahasa Inggris. Jadi kalau tidak bisa bahasa Jerman akan susah untuk survive di Jerman dulu. Kalau sekarang sih nggak masalah, pakai bahasa Inggris cukup kayaknya.

Hidup di Indonesia

Indonesia, terutama Jogja, asik banget buat saya. Setelah 13 tahun, sekarang saya sudah di zona nyaman di Jogja, teman-teman dan support system saya ada di sini. Masih bisa tiap hari jajan makanan, affordable lah, di Jerman dulu saya pergi ke restoran as a treat. Di sini malas nyuci, ada laundry. Males bersih-bersih bisa cari orang yang bantu bersih-bersih. Sekarang sudah ada BPJS Kesehatan, membantu banget loh. Di Jerman kurang lebih sistem kesehatan seperti di sini, perlu rujukan kalau mau ke spesialis. Di Jerman kalau mondok di RS juga sekamar berdua, bahkan tidak bisa upgrade minta kamar sendiri, kecuali memang punya asuransi privat (yang tentunya gak murah iurannya). Di Jogja bahkan menurut saya lebih mudah ketemu dokter, di Jerman nunggu dapat appointment untuk ketemu dokter bisa lama banget loh.

Tapi, saya perlu waktu lebih dari setahun untuk menyesuaikan diri lagi di Indonesia setelah separuh hidup saya tinggal di Jerman. Perbedaan yang tidak terlihat pas liburan terasa banget. Sekarang sih, seperti saya bilang tadi, sudah zona nyaman di Jogja, apalagi ada pasukan anabul yang gak mungkin ditinggal begitu aja.

Kesimpulannya….

Buat saya pribadi, setiap tempat memiliki kelebihan dan kekurangannya. Untuk saya, semua tergantung saya hidup sama siapa. Karena intinya saya tidak bisa hidup sendiri, perlu komunitas/circle dan support system. Kalau circle nya asik, mau di mana aja hayuk sih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *