Pura Sanatanagama di Kampus UGM
(Read the English version ↓)
Universitas Gadjah Mada (UGM) baru-baru ini meningkatkan fasilitas di kampusnya yaitu fasilitas kerohanian UGM dengan menyediakan tempat ibadah untuk enam agama berbeda. Selain Masjid Kampus dan Pusat Islam Mardliyyah yang telah ada sebelumnya, Rektor UGM telah mengesahkan kompleks fasilitas spiritual. Kompleks ini mencakup dua gereja, satu untuk gereja Katolik dan yang lainnya untuk gereja Kristen Protestan, serta vihara untuk umat Buddha, kelenteng untuk penganut Konghucu, dan Pura Sanatanagama untuk umat Hindu.
Pura Sanatanagama ini dibuat dengan gaya Majapahit. Menurut arsiteknya, Bapak Ar. I Nyoman Gde Ardika, IAI, ide ini berasal dari UGM sendiri yang merupakan kampus Pancasila dan kampus Nusantara. Oleh karena itu, dirasakan tepat jika gaya Majapahit diangkat sebagai desain pura di kampus UGM, mengingat zaman Majapahit adalah masa kejayaan Nusantara. Selain itu, di Pura Sanatanagama juga khusus dibuatkan sebuah situs sebagai tanda penghormatan kepada Maha Patih Gajah Mada, dengan dibuatkan sebuah pelinggih gedong atau pedarman khusus untuk Maha Patih Gajah Mada.
Pura dengan gaya Majapahit ini dibuat menggunakan bahan lokal, yaitu batu Merapi, dengan elemen tambahan dari batu Gunung Agung. Pemahatan candi di Pura Sanatanagama ini dikerjakan oleh pemahat undagi lokal, Doel Kamid Jayaprana (Mbah Joyo). Proses pembangunan berlangsung dengan lancar dan cukup cepat, yaitu hanya lima bulan.
Setelah pembangunan pura selesai, serangkaian upacara yang disebut Ngenteg Linggih digelar. Pada tanggal 22 dan 23 April 2024, upacara Ngenteg Linggih diadakan di Pura Sanatanagama. Ritual Ngenteg Linggih ini dipimpin oleh tiga orang Sulinggih, yaitu Ida Nabe Shri Bhagawan Istri Lakshmi Ratu Manik, Ida Shri Bhagawan Dalem Acarya Maha Kerti Wira Jagad Manik, dan Ida Pandita Dalem Shri Wira Jagat Manik.
Ngenteg Linggih mengambil arti dasar dari dua kata dalam bahasa Bali, ‘nteg’ yang berarti tenang, dan ‘linggih’ yang berarti duduk. Istilah “duduk dalam ketenangan” menggambarkan konsep dasar Ngenteg Linggih, yang menghormati Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala manifestasinya (Ista Dewata) yang disembah atau diletakkan di tempat suci tersebut. Dengan demikian, Ngenteg Linggih adalah prosesi upacara untuk menghormati Tuhan beserta manifestasinya di tempat suci tersebut.
Melalui prosesi Ngenteg Linggih, salah satu kesalahpahaman yang sering dialamatkan kepada masyarakat Hindu bisa dijelaskan, yaitu pandangan bahwa umat Hindu menyembah berhala atau patung. Sebenarnya, bangunan pura atau palinggih adalah simbol tempat kediaman Sang Hyang Widhi Wasa. Seorang tokoh Hindu pernah menjelaskan, “Karena Sang Hyang Widhi Wasa begitu jauh dan luar biasa, kita tidak mampu memahaminya secara langsung. Oleh karena itu, kita menyederhanakan konsep tersebut dalam bentuk yang dapat dimengerti oleh manusia. Dengan demikian, kita dapat berkonsentrasi dan mengarahkan pengetahuan kita pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.”
Kebetulan saya kebagian ngayahi (membantu) untuk mendokumentasi rangkaian Ngenteg Linggih ini. Di hari pertama, tanggal 22 April 2024, selain mecaru dan upacara lainnya, ada juga upacara Melasti ke Pantai Parangkusumo. Puncak acaranya diadakan pada tanggal 23 April 2024 dengan tamu-tamu dari DIY dan luar kota, termasuk Dirjen Bimas Hindu Kemenag RI Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si., Bapak Pembimas DIY Didik Widya Putra, SE, MM. Dari Bali, mewakili Bupati Badung, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, Bali, Drs. I Gd Eka Sudarwitha, S.SOS, M.Si., menyampaikan dana hibah sebesar 2 miliar. Selain itu, TP PKK Kabupaten Badung, dipimpin oleh ketuanya Nyonya Seniasih Giri Prasta, turut serta ngayah menari Rejang Giri Putri dan Rejang Taman Sari. Tarian tersebut diiringi tabuh dari Sekaa Gargita Budaya Dinas Kebudayaan Badung. Ada juga tim kesenian dari STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang dipimpin langsung oleh ketuanya, Prof. Dr. I Gede Suwindia, M.A., yang membawakan Topeng Sidakarya.
Pura Sanatanagama ini terbuka untuk digunakan oleh segenap umat Hindu, tidak terbatas khusus untuk mahasiswa saja. Peta lokasi ada di sini.
Foto-foto Ngenteg Linggih Pura Sanatanagama bisa dilihat dan diunduh di sini: hari pertama, hari kedua
English Version
Pura Sanatanagama at UGM Campus
Universitas Gadjah Mada (UGM) recently expanded its on-campus facilities by enhancing its spiritual infrastructure—providing places of worship for six different religions. In addition to the existing Campus Mosque and the Mardliyyah Islamic Center, the UGM Rector officially inaugurated a new complex of spiritual sites.
This complex includes two churches—one Catholic and one Protestant—a Buddhist vihara, a Confucian temple, and Pura Sanatanagama for the Hindu community.
Pura Sanatanagama was built in the Majapahit architectural style. According to the architect, Mr. Ar. I Nyoman Gde Ardika, IAI, the inspiration came from UGM itself, known as both a Pancasila and Nusantara campus.
It was deemed fitting to reflect the Majapahit style in the temple’s design, as that era represented the golden age of the Nusantara archipelago. A special shrine (pelinggih gedong or pedarman) was also built within the pura to honor Maha Patih Gajah Mada.
The temple’s design incorporates local materials—Merapi stone as the main element, complemented by stone from Mount Agung.
The sculptural work was carried out by local undagi (traditional builder) Doel Kamid Jayaprana, also known as Mbah Joyo. The construction process was smooth and relatively quick, completed in just five months.
The term Ngenteg Linggih comes from two Balinese words: nteg, meaning calm, and linggih, meaning to sit. It carries the idea of “sitting in stillness,” and refers to a sacred ceremony in which the divine presence of Sang Hyang Widhi Wasa is invited to reside in the temple, along with His various manifestations (Ista Dewata).
In essence, Ngenteg Linggih is a rite to honor God and all His forms in the sacred space.
This ceremony also helps to address a common misconception often directed at the Hindu community—the idea that Hindus worship idols or statues.
In reality, the structures in a pura are symbolic representations of the divine abode. As one Hindu leader once said:
“Because Sang Hyang Widhi Wasa is so vast and beyond comprehension, we cannot grasp Him directly. So we simplify the concept into a form that humans can understand. This way, we can focus and direct our devotion and understanding toward Ida Sang Hyang Widhi Wasa.”
I had the chance to help document the Ngenteg Linggih ceremony. On the first day, April 22, 2024, besides the mecaru and other rituals, there was also a Melasti ceremony at Parangkusumo Beach.
The main celebration took place on April 23, 2024, attended by guests from both within Yogyakarta and beyond. Notable attendees included Prof. Dr. Drs. I Nengah Duija, M.Si., Director General of Hindu Community Guidance from the Indonesian Ministry of Religious Affairs, and Mr. Didik Widya Putra, SE, MM, Head of Hindu Affairs for the Yogyakarta Province.
From Bali, representing the Regent of Badung, Drs. I Gd Eka Sudarwitha, S.Sos, M.Si., Head of Badung’s Department of Culture, presented a grant of IDR 2 billion.
Also contributing to the celebration were members of the Badung Regency’s PKK (Family Welfare Movement) team, led by their chairwoman, Mrs. Seniasih Giri Prasta, who performed the Rejang Giri Putri and Rejang Taman Sari dances.
Their performance was accompanied by traditional music (tabuh) from Sekaa Gargita Budaya of Badung’s Department of Culture. A performing arts team from STAHN Mpu Kuturan Singaraja, led directly by their rector Prof. Dr. I Gede Suwindia, M.A., also presented a performance of the sacred Topeng Sidakarya dance.
Pura Sanatanagama is open to all Hindu worshippers—not just UGM students. You can find the location map here.
Photos from the Ngenteg Linggih ceremony at Pura Sanatanagama can be viewed and downloaded here: day one, day two
Narasinya lengkap , bagus
Maturnuwun Pak Tunas 🙂
Turut senang, terharu dan bangga dengan Pura Sanatanagama yang unik dan cantik ini.
Semoga dapat terus berkembang menjadi permata arsitektur yang menggambarkan sumbangsih Hindu dalam perkembangan kejayaan Nusantara. 🙏
🙏🙏🙏