(English version here )
Hari Galungan merupakan perayaan penting bagi umat Hindu di Indonesia yang menandai penciptaan alam semesta beserta seluruh isinya. Sebagai wujud rasa syukur, umat Hindu melaksanakan upacara persembahan kepada Sang Hyang Widhi dan para Dewa Bhatara. Galungan dirayakan setiap 6 bulan Bali (210 hari), tepatnya pada hari Rabu Kliwon wuku Dungulan, yang melambangkan kemenangan Dharma (kebenaran) atas Adharma (kejahatan).
Dalam lontar Sundarigama, Galungan dijelaskan sebagai berikut:
“Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.”
Artinya: Rabu Kliwon Dungulan disebut Galungan, di mana kita disarankan untuk menyatukan roh agar memperoleh pandangan yang jernih dan menyingkirkan segala kekacauan pikiran.
Makna utama Galungan adalah mencapai harmoni antara kekuatan rohani (spiritual), pendirian, dan pikiran yang terang. Dalam diri manusia, Dharma diwujudkan melalui bersatunya rohani dan pikiran yang terang dan jernih, sementara segala kekacauan dan kebingungan pikiran adalah wujud Adharma. Dengan demikian, hari raya Galungan memiliki makna sebagai momen untuk menyatukan kekuatan pikiran, ucapan, dan tindakan dalam komitmen untuk selalu berpegang pada kebenaran atau kebaikan.
Istilah “Galungan” diyakini sudah ada sejak abad ke-11 di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Kidung Panji Malat Rasmi dan Pararaton dari Kerajaan Majapahit. Di India, perayaan serupa disebut Vijayadashami.
MAKNA FILOSOFIS GALUNGAN
Galungan adalah upacara suci yang bertujuan memperkuat spiritualitas seseorang, sehingga mampu membedakan dorongan yang berasal dari Adharma dan suara kebenaran (Dharma) dalam diri. Selain itu, upacara ini juga membantu kita membedakan antara kecenderungan buruk (asura sampad) dan kecenderungan baik (dewa sampad). Hidup bahagia atau ananda hanya dapat dicapai dengan mengendalikan kecenderungan yang buruk.
Perayaan Galungan juga mengajarkan manusia untuk mengendalikan hawa nafsu, terutama nafsu buruk. Dalam kepercayaan Hindu, hawa nafsu manusia terbagi menjadi tiga jenis kala, yaitu:
- Kala Amangkutat, yang melambangkan nafsu ingin berkuasa.
- Kala Dungulan, yang melambangkan nafsu untuk mengambil milik orang lain.
- Kala Galungan, yang melambangkan nafsu untuk selalu menang dengan cara apa pun.
RANGKAIAN UPACARA GALUNGAN
Untuk meraih kemenangan Dharma, ada rangkaian upacara sebelum dan sesudah Galungan. Salah satu tahapannya adalah Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.
Sugihan Jawa, yang dirayakan 6 hari sebelum Galungan pada Kamis Wage Wuku Sungsang, bertujuan untuk menyucikan alam semesta (bhuana agung) yang berada di luar diri manusia. Sugihan Jawa berasal dari dua kata: Sugi yang berarti bersih atau suci, dan Jawa yang berasal dari kata jaba, artinya luar. Pada hari ini dilakukan penyucian segala tempat dan peralatan upacara.
Sedangkan Sugihan Bali, yang jatuh pada Jumat Kliwon Wuku Sungsang, dimaknai sebagai proses pembersihan tubuh fisik. Ini berarti menyucikan diri atau atma yang ada dalam diri kita. Dengan demikian, kita diharapkan untuk kembali kepada sifat-sifat welas asih dan kebajikan yang merupakan karakteristik dari kesucian atma. Dalam bahasa Sansekerta, kata “Bali” berarti kekuatan yang ada dalam diri sendiri, dan itulah yang dijadikan fokus dalam proses penyucian ini.
Pada hari Redite Paing Wuku Dungulan, diceritakan bahwa Sang Kala Tiga Wisesa turun untuk menggoda manusia. Oleh karena itu, dianjurkan untuk menenangkan pikiran agar tidak terganggu oleh Butha Galungan. Dalam lontar juga disebutkan bahwa orang yang pikirannya selalu suci (nirmalakena) tidak akan dipengaruhi oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Wuku Dungulan, yang dikenal sebagai Penyajaan Galungan, umat Hindu melakukan pemujaan, khususnya mereka yang mendalami yoga dan meditasi. Selanjutnya, Penampahan Galungan jatuh pada Selasa Wage Wuku Dungulan, di mana umat Hindu melaksanakan upacara untuk mengalahkan Butha Galungan. Penampahan atau Penampan berasal dari kata nampa, yang berarti “menyambut”. Pada hari ini, umat akan disibukkan dengan pembuatan penjor, yang merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang telah diterima. Penjor terbuat dari batang bambu melengkung yang dihiasi berbagai ornamen. Pada hari ini, banyak orang menyembelih babi sebagai binatang kurban, namun makna sebenarnya adalah untuk menghilangkan sifat-sifat kebinatangan dalam diri.
Di Pura Jagatnatha Banguntapan, Yogyakarta, pada hari ini ada tradisi Kenduri Galungan, di mana umat diwakili oleh masing-masing kepala keluarga berkumpul untuk berdoa bersama dan berpunia berupa beras dan uang yang akan diberikan kepada para Wasi (Mangku).
Pada hari Raya Galungan, yang jatuh pada Rabu Kliwon Wuku Dungulan, sejak pagi hari umat telah memulai upacara untuk Galungan. Persembahyangan dilakukan di rumah masing-masing hingga di pura sekitar lingkungan. Tradisi yang sering dijumpai pada Galungan adalah tradisi mudik, di mana umat yang berasal dari daerah lain, seperti perantauan, akan menyempatkan diri untuk sembahyang di kampung halaman mereka.
Setelah Galungan, ada hari Manis Galungan, yang jatuh pada Kamis Umanis Wuku Dungulan. Hari ini dirayakan dengan penuh sukacita, di mana umat Hindu mengenang keindahan kemenangan Dharma dengan menghabiskan waktu bersama keluarga atau mengunjungi sanak saudara.
Hari Raya Galungan: Celebrating the Victory of Dharma in Hindu Tradition
Hari Raya Galungan is a significant celebration for Hindus in Indonesia, marking the creation of the universe and everything within it. As a form of gratitude, Hindus perform offerings to Sang Hyang Widhi (God Almighty) and the Dewa Bhatara (Gods and Goddesses). Galungan is celebrated every 210 days, specifically on (Wednesday) Rabu Kliwon Wuku Dungulan, symbolizing the triumph of Dharma (righteousness) over Adharma (evil).
The Meaning of Galungan
According to the ancient text, Lontar Sundarigama, Galungan is described as follows:
“Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.”
This translates to: “Rabu Kliwon Dungulan is called Galungan, where we are encouraged to unite our spirit to gain clarity and dispel the chaos of the mind.”
The main essence of Galungan is to achieve harmony between spiritual strength, steadfastness, and a clear mind. Within humans, Dharma is realized through the union of spirit and clarity of thought, while the confusion and chaos of the mind represent Adharma. Thus, Galungan serves as a moment to align our thoughts, words, and actions in a commitment to always uphold truth and righteousness.
The Origins of Galungan
The term “Galungan” is believed to have existed in Indonesia since the 11th century, as referenced in the Kidung Panji Malat Rasmi and the Pararaton from the Majapahit Kingdom. In India, a similar celebration is known as Vijayadashami.
Philosophical Significance of Galungan
Galungan is a sacred ceremony aimed at strengthening one’s spirituality to differentiate between Adharma’s influences and the voice of Dharma within. It helps distinguish between negative tendencies (asura sampad) and positive tendencies (dewa sampad). True happiness (ananda) can only be achieved by controlling the negative tendencies within.
This celebration also teaches us to control desires, especially negative ones. In Hindu belief, human desires are divided into three types of Kala (forces):
- Kala Amangkutat, symbolizing the desire for power.
- Kala Dungulan, representing the desire to take what belongs to others.
- Kala Galungan, symbolizing the desire to win by any means.
Galungan Rituals and Ceremonies
To achieve Dharma’s victory, there are a series of rituals before and after Galungan. One such stage is Sugihan Jawa and Sugihan Bali.
- Sugihan Jawa, celebrated six days before Galungan on (Thursday) Kamis Wage Wuku Sungsang, is meant to purify the universe (bhuana agung), or the external world. The word “Jawa” comes from “jaba,” meaning “outside.” On this day, all ceremonial tools and places are purified.
- Sugihan Bali, held the next day on (Friday) Jumat Kliwon Wuku Sungsang, focuses on cleansing the body or the inner self. It symbolizes the purification of our soul (atma), encouraging us to return to the characteristics of compassion and goodness, which are the hallmarks of a pure soul.
On Redite Paing Wuku Dungulan, Sang Kala Tiga Wisesa is said to descend to test human minds. It is recommended to calm one’s thoughts to avoid being disturbed by Butha Galungan. The lontar states that those with pure minds are not affected by Butha Galungan.
On (Monday) Senin Pon Wuku Dungulan, known as Penyajaan Galungan, Hindus perform prayers, especially those who practice yoga and meditation. This is followed by Penampahan Galungan on (Tuesday) Selasa Wage Wuku Dungulan, when ceremonies are held to defeat Butha Galungan. The term Penampahan means “welcoming” and signifies the preparation for Galungan. On this day, Hindus are busy making penjor, a symbol of gratitude to God for all the blessings received. Penjor is made from a curved bamboo pole adorned with decorations. Some people also sacrifice animals, but the true meaning is to overcome animalistic tendencies within ourselves.
At Pura Jagatnatha Banguntapan in Yogyakarta, there is a tradition called Kenduri Galungan on this day, where families gather to pray and donate rice and money to the temple’s priests.
On the day of Hari Raya Galungan, which falls on (Wednesday) Rabu Kliwon Wuku Dungulan, prayers are performed from early morning in homes and local temples. One common tradition during Galungan is mudik (returning home), where people from different regions come back to their hometowns to participate in the celebrations.
The day after Galungan is Manis Galungan, celebrated on (Thursday) Kamis Umanis Wuku Dungulan. This day is filled with joy, as Hindus reflect on the beauty of Dharma’s victory while spending time with family.
Galungan serves as a reminder to nurture righteousness and spiritual strength, guiding us to overcome life’s challenges and distractions. May we always walk the path of Dharma.